Aku heran kenapa orang-orang suka pergi ke tepi laut saat
sore hari. Katanya, salah satu cara menyembuhkan luka hati adalah menatap laut
berlama-lama. Sore ini, aku juga tidak mengerti. Aku berdiri di tepi laut
sendiri, meski banyak orang yang lain. Aku menatap ke arah laut.
Aku benci sepasang kekasih yang bertengkar di pinggir laut.
Mereka terlihat menjijikkan bagiku. Lelaki itu masih saja diam. Dia menatap
wajah perempuan itu, perempuan itu sudah tidak peduli, emosinya terlanjur
meluap. Lelaki itu tidak bisa dicegah, terus menjauh meninggalkan perempuan
yang menduakan hatinya. Dia menatapku penuh kebencian.
"Salah satu cara terburuk dalam menghadapi masalah
adalah lari dari kenyataan."
Sesuatu menahan kakiku, dia, lelaki itu tenggelam. Seolah
kakiku sudah membeku di pasir yang aku tapaki. Aku berteriak ke beberapa orang
yang masih berada di pantai. Mereka tidak mendengar suaraku. Tubuh lelaki itu
terdampar di pinggir laut. Aku mendekat, kakiku tiba-tiba bisa digerakkan.
Aneh.
Aku menangis menatap tubuh lelaki itu. Dia sudah mati. Aku
melihat wajahnya dengan sangat dekat. Tidak bisa ku dustai. Wajah lelaki yang
mati sama persis dengan wajahku, sama persis dengan wajah lelaki yang
bertengkar dengan kekasihnya tadi.
Hingga saat ini, aku masih berdiri di tepi laut. Manatap hal
yang ku benci. Sesekali aku melayang-layang tertiup angin. Kejadian itu berlalu
setahun lamanya. Tiap aku berdiri di tepi laut ini, selalu terulang adegan yang
menyedihkan, yang menyebabkan aku menjadi hantu penghuni tepi laut ini.
Sejujurnya, aku benci diriku, yang setahun lalu, membunuh
dirinya di laut ini.
Catatan :
Cerita kedelapan dari lima belas cerita dalam Buku Kumpulan Cerita "Satu Hari di 2018" Karya Boy Candra.