Pada petang hari yang mendung. Dia duduk di pemakamanku. Aku
lelaki yang dia cintai. Dan, kini memilih mati karena egoku terlalu tinggi.
Malam yang basah. Dia memang agak lain dari perempuan
kebanyakan. Itu juga yang menjadi sebab aku menyukainya. Seminggu belakangan
aku sibuk dengan pekerjaanku, kehidupan yang selalu lupa padanya. Dia tidak
pernah mengeluh apalagi menuntut lebih. Sekarang, dia bahkan telah ku ubah
menjadi apapun yang aku mau. Aku suka hal-hal aneh.
Aku mengubahnya dari sebotol bening menjadi penuh ukiran.
Aku meminta dia membuat tato. Aku meyakinkan dia. Dia menyerahkan seluruh
tubuhnya untuk ditato. Aku sendiri yang melukisnya. Itu syarat yang dia ajukan.
Punggungnya adalah kanvas paling menarik untuk ku lukis. Dia menyukai pohon
yang meranting. Aku melukisnya. Sepanjang tahun aku melukisnya.
Belakangan aku sibuk ke luar kota. Dua hari lalu. Aku
bertemu dengan salah satu perempuan, pengelola cafe di kota itu. Belakangan aku
lebih sering bertemu dengannya. Sejak mengenalnya, kecupan kekasihku tak
semanis dulu, tato di tubuhnya tak membuatku bergairah,
Aku pulang diam-diam tak mengabari kekasihku, ini adalah
kepulangan terlambat. Aku mendustai kekasihku. Terasa sepi sekali, aku
diam-diam menuju kamar. Kekasihku tidur membelakangi pintu kamar. Masih ku
lihat pohon yang meranting di punggungnya. Namun, kali ini ada yang lain. Pohon
itu dipegangi tangan seseorang. Kepalaku seperti terbakar.
Aku langsung menghajar lelaki itu. Lelaki itu tumbang.
Beberapa menit sebelum akhirnya tubuhku ikut tumbang. Sesuatu menusuk
punggungku. "Sejak kurasakan pahit bibirmu, aku belajar mengerti. Kau
tidak pernah memberikan cintamu sepenuh hati."
"Senja masih enggan menjadi malam. Dia masih duduk
dipemakamanku. Dia kekasihku. Masih saja terlihat cantik, masih secantik saat
terakhir kali aku melihat sebilah belati berdarah di tangannya."
Catatan :
Cerita kedua belas dari lima belas cerita dalam Buku Kumpulan Cerita "Satu Hari di 2018" Karya Boy Candra.